Pages

As it is an international language, the use of English is no longer
Connected to the culture of Inner Circle countries (McKay, 2002:12)
Sandra Lee McKay,
Professor Emeritus at San Fransico University
THERE has been a strong conviction in English learners and teachers particularly those in Expanding circle countries that English as international language (EIL) is totally associated to culture of native speakers or those in Inner Circle countries. In addition, there is an assumption within these people that to be a proficient user of English, someone needs to be native-like.  In other words, they believe that English language learning and teaching should be directed to attain competence in single model of English, that is that of native speakers such as American and British English at least. These people, however, seem to overlook the fact that in today context of English as international language, it does not simply belong to those in Inner Circle countries but also to have been part of those in both Outer Circle and Expanding Circle countries. Shortly, as international language it has been owned not only by native speakers but also non-native speakers. 

Therefore in this paper I would argue against such “old-fashioned” conviction and “traditional” assumption and maintain McKay’s revision of Smith’s notion that as international language, the use of English is no longer connected to the culture of Inner Circle countries (McKay, 2002:12).  Finally I would discuss this McKay’s revision for English language pedagogical implication. 

Clouet (2006 as cited in Ziaei 2012:2) declared that it is true that language and culture are integral parts, but English has become "de-nationalized, and there is no longer any particular culture associated with the language in general”. Moreover, Hayati (2009) quoted Savignon and Sysoyev (2002) as cited in Ziaei (2012:2) that English is a global language and a specific culture should not be highlighted.  This means that the use of English can not anymore simply be seen as a language owned by particular group of people of certain countries which is exposed to us and as a consequence we have to be familiar with culture of how it is used and be part of it as well.  Rather it has to be seen as globalized language and owned by everyone who uses it and their own culture may be embedded to the language.  In other word, any user of the language may incorporate the norms or value acceptable to their own community in using the language to express their ideas and culture.

Kachru's Model of EIL Users

My experience as a senior high school students may portray this.  My English teacher used to begin the class by expressing gratitude to the god in English which is akin to the way a moslem starting a speech in front of audience, in family or publicly. I myself sometimes did the same in English class when giving presentation although now I never do it anymore since my awareness of native speakers culture. What my teacher did was such a kind of habit which is inherent to Indonesian people whom are Moslem and it influences their way of speaking English. This experience exemplifies how non-native speakers use English to show or express the culture of its user and according to Widdowson this man owns the language.  Kilickaya (2009) provides an example how Indian people incorporate their culture on grammatical rules of “standard” English in using modal auxiliary “may”: “these mistakes may please be corrected”. The use of “may” here in Indian context is to express obligation politely while in standard English should be “must” instead which seems not to be polite to Indian people.  

Given those above notions, English learning and teaching in Expanding circle countries which is simply directed on one single model of native speaker in Inner Circle countries should be modified.  It means that English language teaching needs to accomodate the culture of Outer and Expanding Circle countries. McKay (2002) in Yi-Shin argued that some of the cultural contents in teaching English (teaching target culture) may be irrelevant to students’ concerns; sometimes they may even present cultural conflicts. Seeing the case of India in the use of modals “may” is apparent that McKay’s notion occurs. Therefore, the content of English language teaching should reflect the global diversity of the language and prepare the learners with the skills they need for successful communication in multiple context.  Non-native speakers in using English do not have to totally conform to Inner Circle countries in favour of their culture or habit but it is also necessary to take Outer and Expanding Circle countries into account as Graddol (2004 as cited in O’Neill 2007:12) mentions that people do not have to sound like native speakers to be understood and that speakers of global English can still keep their identities.  

In conclusion, since English a global language or international language in which its use has been diversed, it is not identical anymore with the culture of Inner Circle countries and therefore the focus of ELT should not be on a single model.  This implies that the content of ELT course should extend beyond L1 dominated countries and should stress expertise in using English as medium of communication and not on acquiring a specific language model.

Author: Wawan Cahyadin
KARENA suatu keperluan saban hari saya bertandang ke BRI Kantor Wilayah Makassar di Jl. Ahmad Yani yang hanya berjarak beberapa meter dari Balaikota Makasar dan berdampingan dengan Polwiltabes Kota Makasar.  Perjalanan ke BRI Ahmad Yani saya tempuh dengan pete-pete kampus 05 rute kampus-cendrawasih selama kurang lebih 30 menit, lalu saya turun dipertigaan Karebosi. Turun dari angkot, lalu pandangan saya tertuju pada laki-laki paruh baya, usianya saya taksir kira-kira mendekati 50-an. Tampaknya  pak tua lagi mujur, setelah melihat kesana kemari saya hanya mendapatinya seorang diri, rupanya dialah satu-satunya tukang becak yang available saat itu. 

Setelah kami menyepakati tarif saya pun naik, pak tua bergegas mengayuh becaknya dan singkat cerita sampailah saya di Jl. Ahmad Yani dan di depan saya berdiri kokoh dan megah sebuah bangunan bertingkat yang tak lain adalah kantor BRI Wilayah Makassar. Memori  saya sempat bekerja mengingat keadaan bank ini beberapa tahun silam saat pertama kalinya saya menginjakkan kaki. Saya berkesimpulan hanya sedikit bahkan boleh dibilang tidak ada sama sekali perubahan dengan perwajahan gedung bank ini, entah bagaimana dengan sisi-sisi lain dan bagian dalam gedung. 

BRI Kantor Wilayah Makassar
Dengan langkah mantap saya memasuki areal halaman bank dan sampai di depan pintu masuk dan tiba-tiba seolah otomatis pintu terbuka yang ternyata dibuka oleh seorang security berbadan tegap yang selalu setia membukakan pintu setiap kali ada manusia yang hendak masuk berurusan di bank. Di dalam gedung saya menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Berbeda dengan yang lazimnya di setiap bank dan juga di bank ini beberapa tahun silam, keadaan ruang tampak sepi, kira-kira hanya ada sekitar 20-an orang yang berurusan hari itu. Ada apa gerangan? Apakan BRI sepi pelanggan? Ataukan orang-orang sudah mulai enggan berurusan dengan bank? Namun saya yakin bahwa pertanyaan yang terakhir sangat tidak mungkin karena dimana-mana bank begitu vital bagi masyarakat yang kian hari semakin tergantung dengan finansial, entah itu menabung, menarik, meminjam atau sekedar bertanya pada pihak bank. 

Pertanyaan-pertanyataan ini muncul begitu cepat dalam benak saya, lalu dengan sedikit keraguan saya pun menuju mesin pencetak nomor antrian disisi kiri pintu masuk untuk mengambil nomor antri, namun langkah saya dihentikan oleh security yang rupanya memperhatikan gerak-gerik saya sejak masuk. Lalu dia menginterogasi saya singkat. Mengetahui maksud saya, dia lalu menawarkan untuk mengantarkan buku rekening saya ke customer service dan sebelum beranjak dia mempersilahkan saya duduk dan menunggu di bangku antrian. Saya duduk seraya melihat-lihat ke sekeliling ruangan dan mendapati perubahan pada beberapa bagian ruangan termasuk letak jejeran customer service yang berpindah namun posisi teller/cashier tidak mengalami perubahan sama sekali. 

Di stand inilah saya dilayani
Beberapa menit kemudian, mendengar nama saya dipanggil saya pun beranjak ke arah customer service. Saya merasakan ada yang ‘ganjil’ dengan customer service anggun berjilbab yang berdiri hanya beberapa meter di hadapan saya, dia mengangkat tangan kanannya setinggi bahu dengan posisi telapak tangan menghadap ke depan, ke arah saya. Memperhatikan sikapnya yang ganjil saya sempat ragu dan menghentikan langkah, saya bertanya-bertanya dalam hati apa gerangan maksud gerakan tangannya, jangan-jangan saya ditolak. Namun keraguan itu saya tepis, saya berusaha untuk tidak tampak ‘baru’ dengan terus melangkah mendekat ke arahnya.  Sampai di hadapannya, sambil senyum dia mengulurkan tangannya, berjabat tangan, memperkenalkan namanya lalu mempersilahkan saya duduk. 

Selanjutnya terjadilah dialog diantara kami. Selama dialog dia begitu ramah. Mula-mula KTP saya diminta dan saya pun membuka dompet dan menyodorkannya selembar KTP yang dibungkus kertas laminating yang belum sempurna press-annya.  Giliran buku rekening saya yang lama ditanyakan, saya agak gelisah mengingat dulunya di BRI Baubau, hal yang sama ditanyakan oleh teller (bukan customer service) dan alhasil ketika itu teller menolak mencetak transaksi di buku rekening terakhir meskipun saya sudah berusaha meyakinkan. Namun kali ini di tempat yang berbeda di Makassar di Ahmad Yani saya merasakan bahwa pihak bank cukup memahami setelah saya menjelaskan bahwa buku rekening yang sebelumnya ada tapi lupa dibawaserta. Selanjutnya dia menanyakan tempat tinggal dan tanpa berlama-lama saya merespon dengan cepat dan menjelaskan bahwa saya tinggal di kampus Unhas, itupun ke bank dengan pete-pete. Ternyata hal itu dimakluminya sambil terus tersenyum seolah mengerti kegelisahanku. 

Saya tentu saja bersyukur karena membayangkan seandainya bank tidak bijak menyikapinya dan saya harus pulang pergi dengan menempuh jarak yang terbilang lumayan jauh setidaknya menurut penilaian saya sendiri. Buku rekening saya pun mulai di proses, sayangya koneksi internet sedang trouble meski telah dicobanya berkali-kali. Sambil menunggu koneksi internet kembali prima, dia lalu mengerjakan hal lain yang kira-kira masih berkaitan dengan rekening saya. Saya menduga semacam crosscheck rekening di suatu ruangan terpisah termasuk dengan rekening pelanggan lainnya yang disodorkan security. Namun ini hanya dugaanku saja, bisa saja memang ada hal lain yang ia kerjakan.  Menariknya adalah ketika dia meningggalkan saya menuju ruangan, dia minta izin “permisi pak saya tinggal sebentar”, saya pun mengiyakan dan sebelum saya sempat berpikir lagi, dia sudah kembali ke hadapan saya dan berujar “terimakasih sudah menunggu”. Semuanya dilakukan dengan penuh santun dan selalu ‘dihiasi’ senyum.  

Bersambung
AWAL tahun ini 4 International Colleges and Universities (4ICU) sebuah organisasi pemeringkat universitas berbasis web dalam situs resminya merilis daftar peringkat universitas dan perguruan tinggi negeri dan swasta 2012 yang ada di dunia (World University Ranking). Posisi puncak umumnya ditempati oleh beberapa universitas ternama di Amerika Serikat seperti Massachusets Institute of Technology (MIT), Stanford University dan Hardvard University yang masing-masing bertengger pada posisi satu, dua dan tiga. Selain memeringkat secara international organisasi ini juga memeringkat universitas per negera tak terkecuali Indonesia. Sedikitnya 318 universitas negeri dan swasta di tanah air masuk dalam daftar peringkat 4ICU.  Pemeringkatan didasarkan pada tiga kriteria yakni; perguruan tinggi yang dikenal memiliki lisensi atau akreditasi dari pemerintah dan atau lembaga akreditasi resmi, menyelenggarakan program pendidikan strata satu hingga tiga; plus menyelenggarakan pendidikan tradisional face to face, learning facilities, berbagai program dan jurusan.  

Kampus Unidayan di Palagimata
Tak luput, salah satu universitas swasta di Sulawesi Tenggara, Universitas Dayanu Ikhsanudin atau Unidayan masuk dalam daftar peringkat 4ICU. Meskipun universitas yang berlogo Kanturuna Wolio ini hanya menduduki peringkat 261 dari 318 universitas negeri dan swasta terakreditasi di Indonesia namun jauh mengungguli universitas Muhammadiyah Kendari yang nyaris mendekati posisi kunci (peringkat 315). Yang cukup mencengangkan Unidayan bahkan mengungguli beberapa universitas swasta yang cukup ternama di tanah Jawa seperti universitas Bung Karno (peringkat 264) dan Universitas Ibnu Khaldun (peringkat 268) yang masing-masing berbasis di Jakarta dan Bogor. Unidayan juga mengungguli Universitas 45 Makassar yang menduduki peringkat 277. Padahal, universitas yang disebut terakhir sangat populer di Sulawesi Selatan dan tidak sedikit generasi muda dari jazirah Buton yang menimba ilmu di sana. Beberapa universitas lain di Kota Makassar seperti Universitas Islam Makasar, Universitas Indonesia Timur atau populer disebut UIT yang kerap menjadi tujuan belajar sebagian generasi muda di jazirah Buton tidak masuk dalam daftar peringkat. 

Dalam daftar peringkat 4ICU juga tidak terdapat universitas-universitas swasta lainnya di Kota Baubau yang sudah dikenal luas di kalangan masyarakat jazirah Buton Raya seperti Universitas Muhammadiyah Buton dan Universitas Islam Buton. Demikian halnya pula dengan Unsultra, salah universitas swasta yang sudah lama exist di Kota Kendari.  Lalu bagaimana dengan Universitas Haluoleo Kendari, yang juga merupakan icon Sultra di pentas dunia akademisi tanah air? Satu-satunya perguruan tinggi negeri berbentuk universitas di Sulawesi Tenggara ini menempati peringkat ke 85 sedangkan Universitas Hasanuddin di Makasar menempati peringkat ke 28.  Posisi teratas di tanah air masih di dominasi oleh beberapa universitas negeri bonafide di Pulau Jawa seperti ITB, UI dan UGM yang saling berkejaran pada posisi satu, dua dan tiga dan dibayangi oleh salah satu universitas swasta bonafide, Universitas Gunadarma di posisi ke empat. Posisi terakhir ditempati Universitas Abdulrahman Saleh Situbondo, di Jawa Timur.

4ICU merupakan mesin pencari pendidikan tinggi internasional yang mengulas akreditasi perguruan tinggi di dunia. Tercatat sedikitnya 9.200 perguruan tingi dari 200 negara telah direview 4ICU. Perengkingan dilakukan dengan menggunakan metode algoritma dan didasarkan pada tiga mesin pencari independen seperti google page rank, yahoo inbound links dan alexa traffic rank.  Organisasi 4ICU dibangun dengan tujuan membantu dosen dan mahasiswa internasional mencari secara spesifik informasi tentang popularitas sebuah universitas di sebuah negara. 



AKHIRNYA setelah sekian lama ingin membuat blog, hari ini Rabu, 8 Februari 2012, pukul 11.33 waktu Makassar keinginan itu tercapai. Blog ini saya harap nantinya akan menjadi perekam jejak penggalan-penggalan perjalanan hidup saya, ide dan aspirasi saya dalam meraih mimpi-mimpi di masa mendatang. Blog ini akan saya isi dengan catatan-catatan pribadi dan artikel-artikel yang saya harap bermanfaat. Welcome new blogger!!!